CARA ALLOH MENGABULKAN DO'A
Kamis, 28 November 2013 | 0 komentar
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian.” (HR. Ahmad 3/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid).
Selain diperkenankan langsung dan ditunda, maka Allah juga bisa mengganti kabulnya do'a kita dengan yang lain. Penggantian tersebut agaknya ada 2 macam, yaitu:
PUASA TASU'A & ASYURA 9-10 MUHARRAM
Selasa, 12 November 2013 | 0 komentar
PUASA TASU'A & ASYURA 9-10 MUHARRAM
Di bulan Muharram ini juga terdapat anjuran shaum sunah khusus, yaitu shaum sunah Tasu’a dan ‘Asyura. Shaum sunah Tasu’a adalah shaum sunah yang dikerjakan pada tanggal 9 Muharram. Adapun shaum sunah ‘Asyura adalah shaum sunah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا ، يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ ؟ ” فَقَالُوا : هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ “
Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW saat datang di Madinah mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Hari apa yang kalian melakukan shaum ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka nabi Musa melakukan shaum sebagai wujud syukur kepada Allah. Oleh karena itu kami juga melakukan shaum.”
Rasulullah SAW bersabda, “Kami lebih wajib dan lebih layak mengikuti shaum Musa daripada kalian.” Rasulullah SAW melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan shaum ‘Asyura juga.” (HR. Bukhari dan Muslim, dengan lafal Muslim)
Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, dan Abu Ya’la menggunakan lafal:
هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ ، فَصَامَهُ مُوسَى
“Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka nabi Musa melakukan shaum.”
Shaum ‘Asyura sudah dikenal dan dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy sejak zaman jahiliyah, sebagaimana dijelaskan oleh ummul mukminin Aisyah RA. Boleh jadi mereka melakukannya berdasar ajaran nenek moyang mereka yang mewarisinya dari ajaran nabi Ibrahim dan Ismail Alaihima Salam. Pada masa Islam, Rasulullah SAW dan para sahabat juga melakukan shaum ‘Asyura. Pada masa tersebut, shaum ‘Asyura hukumnya wajib. Hal itu berlangsung sampai turun surat Al-Baqarah (2) ayat 183-185 yang mewajibkan shaum Ramadhan. Sejak saat itu, shaum ‘Asyura ‘sekedar’ disunahkan, tidak lagi diwajibkan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Dari Aisyah RA berkata: “Hari ‘Asyura adalah hari yang kaum Quraisy biasa melakukan shaum pada masa jahiliyah. Rasulullah SAW pada waktu itu (di Makah, pent) juga melakukan shaum Asyura. Ketika beliau datang di Madinah, beliau melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka beliau tidak melakukan (tidak mewajibkan, pet) shaum ‘Asyura. Barangsiapa ingin maka ia mengerjakan shaum ‘Asyura dan barangsiapa ingin maka ia tidak mengerjakan shaum ‘Asyura.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Meski hukum shaum ‘Asyura adalah sunah, namun Rasulullah SAW sangat tekun mengerjakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Aku tidak pernah melihat Nabi SAW begitu semangat mengerjakan shaum satu hari yang lebih beliau utamakan dari hari yang lain selain hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa makna ‘begitu semangat’ dalam hadits di atas adalah antusias untuk mengerjakannya demi mengharap pahala yang besar di sisi Allah SWT. Besarnya pahala shaum ‘Asyura disebutkan dalam hadits shahih sebagai berikut:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Shaum hari ‘Asyura, aku mengharapkan pahalanya di sisi Allah dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun sebelumnya.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
Selain shaum ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram, Islam juga menganjurkan shaum sunah Tasu’a pada tanggal 9 Muharram. Berdasar hadits shahih dari Ibnu Abbas RA berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ” قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika Rasulullah SAW melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan shaum ‘Asyura, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Jika tahun datang tiba, insya Allah, kita juga akan melakukan shaum pada tanggal Sembilan Muharram.” Tahun mendatang belum tiba, ternyata Rasulullah SAW keburu wafat. (HR. Muslim, ath-Thabari, dan al-Baihaqi).
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama menjadikan hadits di atas sebagai dalil kesunahan shaum tanggal sembilan dan sepuluh Muharram. Dengan demikian, shaum sunah pada bulan Muharram memiliki beberapa tingkatan:
- Tingkatan paling rendah adalah melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura semata. Menurut pendapat yang lebih kuat sebagaimana disebutkan oleh imam Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, dan Manshur al-Bahuti al-Hambali, shaum ‘Asyura boleh dikerjakan satu hari saja tanpa disertai sehari sesudahnya atau sehari sebelumnya, meskipun ia jatuh pada hari Jum’at, Sabtu, atau Ahad.
- Tingkatan di atasnya adalah melaksanakan shaum pada hari Tasu’a dan ‘Asyura.
- Semakin banyak shaum sunah yang ia lakukan pada bulan Muharram, maka keutamaannya juga semakin besar. Namun sebaiknya tidak melakukan shaum sunah sebulan penuh, sesuai contoh dari Nabi SAW dan para sahabat.
Perlu diketahui bahwa beberapa ulama menyatakan kesunahan menggabungkan shaum ‘Asyura dengan shaum sehari sesudahnya (11 Muharram). Pendapat mereka tersebut didasarkan kepada hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا ، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا “
Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Laksanakanlah shaum hari ‘Asyura! Namun selisihilah shaum Asyura orang-orang Yahudi! Laksanakanlah juga shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad, al-Humaidi, al-Baihaqi, al-Bazzar, Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Khuzaimah)
Sebagian ulama, di antaranya syaikh Ahmad Syakir, menyatakan hadits ini hasan. Namun pendapat mayoritas ulama yang lebih kuat menyatakan hadits ini sangat lemah, karena di dalamnya ada dua perawi yang lemah yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi, dan Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi.
Perawi Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi adalah perawi yang sayyi-ul hifzhi jiddan, sangat buruk sekali kekuatan halafannya. Ia dilemahkan oleh imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain. (Tahdzib al-Kamal, 25/622 dan Mizan al-I’tidal, biografi no. 7825)
Tentang kedudukan perawi Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi, imam adz-Dzahabi berkata: “Haditsnya tidak bisa dijadikan hujah.” (Al-Mughni fi adh-Dhu’afa’, 1/219)
Menurut penelitian yang benar, anjuran shaum tanggal 10 ditambah shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya adalah pendapat pribadi Ibnu Abbas (hadits mauquf), bukan sabda Nabi SAW. Imam Al-Baihqi, Abdurrazzaq, dan ath-Thahawi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari jalur Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas RA yang berkata: “Laksanakanlah shaum tanggal 9 dan 10 Muharram, selisihilah orang-orang Yahudi!” Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma’arif juga menshahihkan riwayat ini.
Sebagian ulama, di antaranya imam Asy-Syafi’I dalam Al-Umm, menyebutkan disunahkan shaum tiga hari berturut-turut yaitu pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram dengan dua alasan:
Pertama, sebagai bentuk kehati-hatian terkait perbedaan penentuan masuknya awal bulan. Imam Ahmad berkata: “Jika awal masuknya bulan tersamar baginya, maka hendaknya ia melakukan shaum tiga hari. Ia melakukan hal itu agar ia yakin mendapatkan shaum tanggal sembilan dan sepuluh.” (Al-Mughni, 4/441) Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma’arif menjelaskan bahwa di kalangan ulama tabi’in, yang melakukan hal itu adalah imam Ibnu Sirin dan Abu Ishaq.
Kedua, meniatkan diri untuk melaksanakan shaum sunah tiga hari dalam sebulan. Sesuai anjuran dalam hadits dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ ، صَوْمُ الشَّهْرِ كُلِّه
“(Pahala) Shaum sunah tiga hari setiap bulan adalah bagaikan (pahala) shaum satu tahun penuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
SURAT DARI MANTAN PEMEGANG LISENSI MISS WORLD KEPADA MUI
Sabtu, 14 September 2013 | 0 komentar
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerima surat dari mantan pemilik lisensi Miss World yang mengaku telah bertobat karena terlibat dalam ajang pamer aurat tersebut, dalam suratnya terungkap bahwa Miss World adalah bisnis yang menjual keindahan tubuh wanita untuk kepentingan sejumlah kalangan. Berikut isi lengkap surat tersebut yang diterima Suara Islam Online :
Jakarta, 03 September 2013
Kepada Yth.
Ketua MUI
di- Jakarta.
Ketua MUI
di- Jakarta.
Dengan Hormat,
Sebagai mantan Franchise Holder Miss World, Miss Universe, Miss Asia, Miss Internasional yang ditunjuk untuk pertama kali di Indonesia dari Badan Miss World Ltd. London sejak tahun 1976 hingga 1992, ingin berbagi apa yang kami ketahui mungkin bisa bermanfaat bagi Bapak dan jajaran di Kementerian Agama.
Sebagai mantan Franchise Holder Miss World, Miss Universe, Miss Asia, Miss Internasional yang ditunjuk untuk pertama kali di Indonesia dari Badan Miss World Ltd. London sejak tahun 1976 hingga 1992, ingin berbagi apa yang kami ketahui mungkin bisa bermanfaat bagi Bapak dan jajaran di Kementerian Agama.
Sebagai pemegang hak untuk Indonesia yang diberi kepercayaan untuk mengadakan dan mengikuti pemilihan di ajang Internasional, sepanjang yang kami ikuti dan ketahui bahwa kontrak Official Entry From Peserta Miss World atau ajang pemilihan Ratu Internasional sejak berdiri pertama kali tahun 1951 adalah baku dan tidak pernah berubah yaitu penilaian dan penjurian (terlampir kontrak dan Handbook) :
1. Yang pertama adalah harus bagus figure/badan (dijuri dengan menggunakan swimsuit/bikini).
2. Ditunjang dengan beauty of face, grace, charm, deportment dan good personality (dengan menggunakan national costum dan evening gown).
Untuk merebut gelar Miss World/Miss Universe terdiri dari 3 Kategori Penjurian Utama adalah :
- Swimsuit (Bikini) Competition.
- Evening Gown Competition.
- National Costum.
- Swimsuit (Bikini) Competition.
- Evening Gown Competition.
- National Costum.
Untuk Kategori tambahan, umumnya : Miss Photogenic, Miss Persahabatan, dan lain-lain.
Pengumuman Pemenang pada saat menggunakan PAKAIAN RENANG.
Adapun pengumuman Beauty with purpose dan Talent serta yang lainnya pada saat pemakaian Evening Gown.
Pengalaman Peserta yang kami kirim adalah sebagai berikut :
1. Pada ajang Miss Asia Quest 1982 yang jatuh di Negara Malaysia, maka untuk Open Completion (on stage) dan Broadcast di televisi, peserta tidak menggunakan pakaian renang, akan tetapi karena penjurian tetap ada swimsuit competition, maka peserta tetap ada penjurian pakaian renang secara tertutup.
2. Pada ajang Miss World 1983, peserta Negara, Room Mate dari Miss Indonesia, khusus untuk peserta tersebut menggunakan kain untuk menutupi swimsuit yang dipakai pada saat broadcast di televisi, akan tetapi penjurian swimsuit tetap dilakukan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, apakah mungkin ada perbedaan/perubahan khususnya dalam penjurian pakaian renang pada tahun 2013, dimana sejarah berdirinya Miss Beauty Contest adalah cikal bakal dari KONTES BIKINI pada tahun 1951 dan sejarah bikini ini muncul juga dalam ajang Miss Universe Beauty Pageant, dimana sebuah perusahaan renang (bikini) Catalina menggagas kembali kontes tersebut.
Oleh karena disponsori oleh perusahaan bikini, pemenang pada saat itu kemudian diminta menjalani sesi pemotretan dengan mengenakan bikini dan untuk PERTAMA kalinya Miss Universe Beauty Pageant digelar di Long Beach, California tahun 1952. TRADISI berbikini terus dipelihara sebagai bagian PENTING dalam kontes tersebut.
Sesungguhnya kami terlibat dalam BISNIS KERATUAN ini, karena keinginan besar kami dalam membantu dan mensukseskan PROGRAM PEMERINTAH pada saat itu menjadi cita-cita Bang Ali Sadikin ingin menjadikan Jakarta sebagai Kota Metropolitan.
Sejak tahun 1969 Indonesia telah mengadakan pemilihan Miss Indonesia yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan dinobatkan oleh Ibu Tien Suharto serta mengirim Irma Hadi Surya ke ajang Keratuan Dunia (terlampir) melalui Franchise negara lain yang memegang Franchise Indonesia.
Pada tahun 1974 Indonesia ada permasalahan sehingga Miss Indonesia tidak dapat dikirim dan Negara dirugikan bermilyard-milyard (terlampir). Setelah hal tersebut Bapak Wim Tomasoa selaku Kepala Dinas Pariwisata, memohon kepada kami untuk mendapatkan Franchise Holder untuk Indonesia agar Indonesia tidak tergantung lagi kepada Negara lain untuk mengikuti ajang Ratu Kecantikan Internasional.
Setelah Franchise Holder ditangan kami, alih-alih mendapatkan penghargaan seperti yang dijanjikan, sebaliknya kami mendapat caci-maki dan larangan baik berupa lisan dan larangan resmi (terlampir).
Akhirnya kami mengambil hikmah dari semua kejadian tersebut dan mengintrospeksi diri kami menyadarai atas segala kesalahan yang kami lakukan dahulu bahwa kegiatan kami sebelumnya tidak sesuai SYAR’I, agama yang kami anut yaitu Islam, sehingga kami meletakkan/mengembalikan jabatan kami yang penunjukannya berupa private to private bukan G to G.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, Kami SIAP setiap saat untuk memberikan segala yang kami ketahui kepada Bapak. Kami sangat berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami.
Salam,
Andi Nurhayati
Puasa Syawal - Tata Cara dan Keutamaan Puasa Syawal
Rabu, 14 Agustus 2013 | 0 komentar
Puasa Syawal - Tata Cara dan Keutamaan Puasa Syawal.
Alhamdulillah, rasa syukur patut kita haturkan kehadirat Allah SWT sehingga kita mampu melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan selama sebulan penuh dan diakhiri dengan kemenangan di Hari Idul Fitri. Kini, kita meninggalkan Bulan Ramadhan dan memasuki Bulan Syawal.
Sebagaimana diketahui, ada satu amalan penting di Bulan Syawal ini yang bernilai pahala luar biasa. Yap, amalan tersebut adalah Puasa 6 hari di bulan Syawal atau sering disebut Puasa Syawal. Puasa Syawal sendiri dalam Islam hukumnya adalah Sunah yang sahih dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat pertama,
dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua,
tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga,
tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
(sumber : konsultasisyariah.com)
KEUTAMAAN PUASA SYAWAL
Faedah pertama:
Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga:
Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat:
Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]
Faedah kelima:
Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Source: www.muslim.or.id
Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat diambil Hikmahnya …
Alhamdulillah, rasa syukur patut kita haturkan kehadirat Allah SWT sehingga kita mampu melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan selama sebulan penuh dan diakhiri dengan kemenangan di Hari Idul Fitri. Kini, kita meninggalkan Bulan Ramadhan dan memasuki Bulan Syawal.
Sebagaimana diketahui, ada satu amalan penting di Bulan Syawal ini yang bernilai pahala luar biasa. Yap, amalan tersebut adalah Puasa 6 hari di bulan Syawal atau sering disebut Puasa Syawal. Puasa Syawal sendiri dalam Islam hukumnya adalah Sunah yang sahih dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Ayyub radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal, maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Tata cara puasa Syawal
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.Pendapat pertama,
dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua,
tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga,
tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)
(sumber : konsultasisyariah.com)
KEUTAMAAN PUASA SYAWAL
Faedah pertama:
Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
- Puasanya dilakukan selama enam hari.
- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga:
Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat:
Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]
Faedah kelima:
Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16]Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Source: www.muslim.or.id
Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat diambil Hikmahnya …
Silahkan DICOPAS atau DI-SHARE jika menurut sobat note ini bermanfaat ….
Sekian dan salam berbagi...
Salam santun dan keep silaturahim ...
http://irman85.blogspot.com/
LARANGAN MEMUKUL ANAK KECIL YANG SEDANG MENANGIS
Senin, 22 Juli 2013 | 0 komentar
LARANGAN MEMUKUL ANAK KECIL YANG SEDANG MENANGIS
Rasulullah SAW bersabda : Janganlah kamu memukul anak- anak kamu di
sebabkan mereka menangis dalam masa setahun. Karena pada empat bulan
pertama kelahirannya Ia bersyahadat LAA ILAAHA ILLALLAH. Pada empat
bulan kedua pula ia berselawat ke atas Nabi SAW Dan pada empat bulan
seterusnya pula ia mendoakan kedua ayah bunda nya. ( H.R. Abdullah Ibnu
Umar r.a. )
Baginda Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tangisan
anak di waktu kecil pada bulan pertama adalah tanda ia bertauhid kepada
Tuhan Nya dan empat bulan kedua pula ia membacakan selawat kepada Nabi
nya dan empat bulan seterus nya ia memohon istighfar untuk kedua ayah
bunda nya.
Rasulullah SAW
Bersabda : Anak-anak sebelum sampai ia baligh maka apa-apa yang di
perbuat nya daripada kebaikan maka di tuliskan untuknya dan kedua ibu
bapaknya.
Dan apa yang di perbuat nya daripada kejahatan maka
tiadalah di tulis untuk nya dan tidak pula di tulis untuk kedua ibu
bapaknya. Apabila ia telah baligh maka berlakulah yang di tulis itu
atasnya ia itu segala amal baik atau buruknya. ( H.R.Imam Anas bin Malik
r.a.)
Sabda Rasulullah SAW ;"Siapa yang menyampaikan satu ilmu
dan orang membaca mengamalkannya maka dia akan beroleh pahala walaupun
sudah tiada." (HR. Muslim)
Tips Rasulullah Agar Kuat Berpuasa
Sabtu, 20 Juli 2013 | 0 komentar
Berpuasa di bulan ramadhan merupakan sebuah kewajiban bagi umat muslim
yang sudah akil balig atau istilah umumnya cukup umur. Berpuasa berarti
menahan lapar dan haus serta menahan hawa nafsu sejak terbit fajar
hingga terbenamnya matahari.
Menunaikan ibadah puasa tentu harus diimbangi dengan kondisi fisik yang sehat, agar puasa dapat dilaksanakan dengan sempurna sampai tiba saatnya berbuka. Dibawah ini adalah tips dari sang teladan Rasulullah SAW agar kita kuat menjalankan puasa.
Menunaikan ibadah puasa tentu harus diimbangi dengan kondisi fisik yang sehat, agar puasa dapat dilaksanakan dengan sempurna sampai tiba saatnya berbuka. Dibawah ini adalah tips dari sang teladan Rasulullah SAW agar kita kuat menjalankan puasa.
1. Mengakhirkan Sahur dan Menyegerakan Berbuka
Pertama, hendaklah kita mengakhirkan waktu sahur dan menyegerakan waktu berbuka. Rasulullah bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Muslim)
Pertama, hendaklah kita mengakhirkan waktu sahur dan menyegerakan waktu berbuka. Rasulullah bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Muslim)
republik.co.id |
Zaid bin Tsabit berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah
saw. Kemudian kami melaksanakan shalat. Kemudian saya bertanya: Berapa
lamakah waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan salat)?
Rasulullah menjawab: Selama bacaan lima puluh ayat.” (HR. Shahih)
Rasulullah juga menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Hamba-hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling menyegerakan berbuka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai contoh, jika adzan Subuh jam 4.30 dan adzan Maghrib jam 18.00, maka berhenti makan sahur atau buka puasa jangan lebih dari 50 ayat (sekitar 5 menit) sehingga kita hanya menahan lapar dan haus selama 13 jam 40 menit saja.
Rasulullah juga menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Hamba-hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling menyegerakan berbuka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai contoh, jika adzan Subuh jam 4.30 dan adzan Maghrib jam 18.00, maka berhenti makan sahur atau buka puasa jangan lebih dari 50 ayat (sekitar 5 menit) sehingga kita hanya menahan lapar dan haus selama 13 jam 40 menit saja.
2. Makan Kurma dan Madu Saat Sahur dan Berbuka
Agar kuat berpuasa, kita bisa makan 3 butir kurma dan 2 sendok makan madu setelah makan sahur (setelah makan nasi dan lauk tentunya). Begitu pula ketika berbuka puasa. Minumlah air secukupnya (minimal 3 gelas) agar anda tidak dehidrasi.
Agar kuat berpuasa, kita bisa makan 3 butir kurma dan 2 sendok makan madu setelah makan sahur (setelah makan nasi dan lauk tentunya). Begitu pula ketika berbuka puasa. Minumlah air secukupnya (minimal 3 gelas) agar anda tidak dehidrasi.
health.liputan6.com |
Dari Sulaiman Ibnu Amir Al-Dlobby bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila
seseorang di antara kamu berbuka, hendaknya ia berbuka dengan kurma,
jika tidak mendapatkannya, hendaknya ia berbuka dengan air karena air
itu suci.” (HR. Imam Lima)
Kurma dan Madu mengandung kalori cukup tinggi dan bisa memberi energi yang cukup untuk beraktivitas. Selain itu, makanan 4 sehat dan 5 sempurna seperti buah-buahan juga jangan dilupakan,
“Kemudian makanlah dari tiap macam buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu. Dari perut lebah itu ke luar minuman madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An Nahl: 69)
Kurma dan Madu mengandung kalori cukup tinggi dan bisa memberi energi yang cukup untuk beraktivitas. Selain itu, makanan 4 sehat dan 5 sempurna seperti buah-buahan juga jangan dilupakan,
“Kemudian makanlah dari tiap macam buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu. Dari perut lebah itu ke luar minuman madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An Nahl: 69)
3. Tetap Berolahraga
Untuk menjaga kondisi badan, tetaplah berolahraga meski intensitasnya agak dikurangi. Jalan kaki atau lari pagi selama 30 menit bisa menjadi pilihan. Meski kita berkeringat, lelah, dan haus, setelah mandi pagi atau mandi sore insya Allah badan akan segar kembali. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Oleh karena itu meski berpuasa, kita tetap boleh mandi pada waktu pagi dan petang selama tidak berlebihan.
Untuk menjaga kondisi badan, tetaplah berolahraga meski intensitasnya agak dikurangi. Jalan kaki atau lari pagi selama 30 menit bisa menjadi pilihan. Meski kita berkeringat, lelah, dan haus, setelah mandi pagi atau mandi sore insya Allah badan akan segar kembali. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Oleh karena itu meski berpuasa, kita tetap boleh mandi pada waktu pagi dan petang selama tidak berlebihan.
palembang.tribunnews.com |
Dan berkaitan dengan kebersihan badan Ibnu Umar berkata, “Orang yang berpuasa boleh bersiwak (menggosok gigi) pada permulaan hari dan akhir hari (yakni pada pagi hari dan sore hari) dan tidak boleh menelan ludahnya.” (HR Bukhari)
Pertimbangkan juga untuk berolahraga 1 sampai 2 jam setelah shalat Tarawih, witir, dan membaca Al Qur’an. Jadi jika haus, kita bisa minum langsung.
Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat diambil Hikmahnya …
Silahkan DICOPAS atau DI-SHARE jika menurut sobat note ini bermanfaat ….
Sekian dan salam berbagi...
Salam santun dan keep silaturahim ...
http://irman85.blogspot.com/
Penetapan Awal Bulan Ramadhan
Senin, 08 Juli 2013 | 0 komentar
Penetapan awal Ramadhan
Banyak selisih pendapat dalam penentuan awal Ramadhan. Ada yang memakai hisab, ada yang berpedoman rukyat. Bagaimanakah sikap kita seharusnya?
Para ulama berselisih pendapat di dalam menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ» و في رواية: فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ»
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga-puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا»
“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal), maka berbukalah.” (HR Muslim no. 1081)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu” dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1), hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh ” faqduru lahu ” dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.
Selain dalil-dalil yang telah diungkap di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama,yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ
“Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari.”(HR Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)
Artinya hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat. Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan) sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan model ” wujudul hilal.”
Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan imkanur rukyat (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang menggunakan model “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai 5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin diungkap di sini.
Inilah mengapa umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun demi persatuan umat. Wallahu Musta’an.
Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam negara masing-masing. Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.
Wallahu A’lam.
Penulis: Dr. Ahmad Zain an-Najah, MA.
ahmadzain.com
(muhibalmajdi/arrahmah.com)
Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat diambil Hikmahnya …
Silahkan DICOPAS atau DI-SHARE jika menurut sobat note ini bermanfaat ….
Sekian dan salam berbagi...
Salam santun dan keep silaturahim ...
http://irman85.blogspot.com/
Langganan:
Postingan (Atom)